Selasa, 07 Desember 2010

ekonomi pembangunan

Ekonomi Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi



Ekonomi Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi
Evolusi Makna Pembangunan
Pandangan tradisional beranggapan yang membedakan antara negara maju dengan Negara Sedang Berkembang (NSB) adalah pendapatan rakyatnya. Dengan ditingkatkannya pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah, seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB dapat terpecahkan, misalkan melalui apa yang dikenal dengan “dampak merembes ke bawah” (trickle down effect). Indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riel, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Kecenderungan di atas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, Rosenstein Rodan, Nurkse, Leibenstein.
Perkembangan selanjutnya, banyak NSB mulai menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai, namun dibarengi dengan masalah-masalah, seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural.
Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan. Maka, muncul paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment).
Indikator Pembangunan
Indikator pembangunan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembangunan yang dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi (1) indikator ekonomi; (2) indikator sosial. Sedangkan yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah GNP (GNI) per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity, sedangkan yang termasuk indikator sosial adalah Human Development Index (HDI) dan PQLI (Physical Quality Life Index) atau Indeks Mutu Hidup.
Untuk tujuan operasional dan analitikal, kriteria utama Bank Dunia dalam mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu negara adalah Gross National Income (GNI) atau Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita yang merupakan pendapatan nasional bruto dibagi jumlah populasi penduduk. Bank Dunia (2003) mengklasifikasikan negara berdasarkan tingkatan GNI per kapitanya, yaitu (1) negara berpenghasilan rendah (low-income economies), (2) negara berpenghasilan menengah (middle-income economies). Dalam kelompok negara berpenghasilan menengah dapat dibagi menjadi negara berpenghasilan menengah papan bawah (lower-middle-income economies) dan negara berpenghasilan menengah papan atas (upper-middle-income economies), (3) negara berpenghasilan tinggi (high-income economies), (4) dunia (world) meliputi semua negara di dunia, termasuk negara-negara yang datanya langka dan dengan penduduk lebih dari 30.000 jiwa.
Jenis-jenis Kemiskinan dan Indikatornya
Kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara berkembang, bahkan negara-negara maju pun mengalami kemiskinan walaupun tidak sebesar negara Dunia Ketiga. Secara umum, jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Pertama, kemiskinan absolut, di mana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif bersifat dinamis dan tergantung di mana seseorang tinggal.
Untuk lebih mengetahui secara pasti tingkat kemiskinan suatu masyarakat maka diciptakan indikator kemiskinan atau garis kemiskinan. Di Indonesia, garis kemiskinan BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Selain itu, terdapat garis kemiskinan lainnya, yaitu garis kemiskinan Sajogyo dan garis kemiskinan Esmara. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga komoditi dan porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin, menurun secara cepat. Berdasarkan kelemahan tersebut Esmara mencoba untuk menetapkan suatu garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial, seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas.

Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan, menurut Sharp et al., dapat disebabkan oleh ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia dan disebabkan oleh perbedaan akses dalam modal. Sedangkan lingkaran setan kemiskinan versi Nurkse sangat relevan dalam menjelaskan fenomena kemiskinan yang terjadi di negara-negara terbelakang. Menurutnya negara miskin itu miskin karena dia miskin (a poor country is poor because it is poor).
Menurut Thorbecke, kemiskinan dapat lebih cepat tumbuh di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan karena, pertama, krisis cenderung memberi pengaruh terburuk kepada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan, seperti konstruksi, perdagangan dan perbankan yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran di perkotaan; kedua, penduduk pedesaan dapat memenuhi tingkat subsistensi dari produksi mereka sendiri. Hasil studi atas 100 desa yang dilakukan oleh SMERU Research Institute memperlihatkan bahwa pertumbuhan belum tentu dapat menanggulangi kemiskinan, namun perlu pertumbuhan yang keberlanjutan dan distribusi yang lebih merata serta kemudahan akses bagi rakyat miskin.
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Strategi penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di Jepang, solusi yang diterapkan adalah dengan menerapkan pajak langsung yang progresif atas tanah dan terbatas pada rumah tangga petani pada lapisan pendapatan yang tinggi, sedangkan Cina melakukannya melalui pembentukan kerangka kelembagaan perdesaan dengan kerja sama kelompok dan brigades di tingkat daerah yang paling rendah (communes). Di sisi lain, solusi pemberantasan kemiskinan di Taiwan melalui mobilisasi sumber daya dari sektor pertanian dengan mengandalkan mekanisme pasar.
Selain strategi di atas, ada juga Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi atau Rural-Led Development yang menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor pertanian menjadi sektor yang memimpin.
Di Indonesia, salah satu strategi penanggulangan kemiskinan ditempuh melalui pemberdayaan partisipatif masyarakat melalui P2KP. Sasaran dari program ini adalah kaum miskin perkotaan yang sangat rentan terhadap krisis dibandingkan dengan masyarakat perdesaan.
Pertumbuhan versus Pemerataan
Pada beberapa kasus memang dijumpai adanya studi empiris yang mendukung hipotesis kurva U terbalik (hipotesis Kuznets), namun hal ini perlu disikapi hati-hati tergantung dari jenis data yang dipakai, apakah data silang atau runut waktu. Hal ini penting karena keduanya memberikan kesimpulan yang berbeda.
Ketimpangan Distribusi Pendapatan: Indikator dan Trend
Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan yang sering digunakan dalam penelitian. Pertama, indikator distribusi pendapatan perorangan. Kedua, kurva Lorenz. Ketiga, koefisien gini. Masing-masing indikator tersebut mempunyai relasi satu sama lainnya. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin besar ketimpangan distribusi pendapatannya. Begitu juga sebaliknya, semakin berimpit kurva Lorenz dengan garis diagonal, semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk koefisien gini, semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata. Demikian juga sebaliknya.
Studi empiris menunjukkan bahwa bentuk kurva Lorenz untuk kasus negara berkembang pada umumnya semakin menjauhi dibandingkan dengan negara maju. Apabila dilihat koefisien gini, negara maju mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan negara berkembang.
Masalah Dualisme Pembangunan
Industrialisasi di dunia sangat erat kaitannya dengan revolusi industri yang terjadi di Inggris pada abad ke-18. Revolusi industri yang terjadi di negara maju ternyata mendorong negara-negara lain untuk bereaksi dengan 2 cara. Pertama, berusaha untuk meniru model revolusi industri. Kedua dengan melakukan kontak dagang. Usaha untuk meniru tersebut banyak dilakukan oleh negara-negara di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat. Hal tersebut menjadi titik tolak mulainya pembagian dunia menjadi negara industri dan nonindustri. Revolusi industri menyebar dengan cepat di negara-negara yang melakukan revolusi pertanian khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara, sedangkan di negara dengan produktivitas pertanian yang rendah, seperti Eropa Tengah dan Eropa Selatan atau Amerika Latin dan Cina kemajuan industrinya berjalan relatif lambat.
Teori dualisme Boeke amat populer pada pertengahan 1950-an karena menerangkan mengapa perekonomian daerah jajahan (Eastern/Colonial Economy) amat berbeda secara fundamental dengan perekonomian negara-negara Barat yang berdasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, Boeke berpendapat bahwa teori ekonomi konvensional dari Barat jelas tidak dapat diterapkan di negara-negara Timur. Ia mengusulkan perlunya disusun teori dengan kerangka yang sama sekali baru. Teori “baru” ini jelas lebih kompleks karena harus memperhitungkan kondisi dualistik dengan 2 sistem sosial yang berbeda, saling mempengaruhi, dan saling berbenturan.
Meskipun banyak kritikus Belanda yang mengkaji seluruh ataupun sebagian teori Boeke bertahun-tahun sejak Perang Dunia II, namun boleh dikatakan tidak ada pemikiran yang muncul menentang Boeke (Mackie, 1980). Boeke tetap merupakan ilmuwan yang berpengaruh dari tahun 1929 hingga kematiannya pada tahun 1956. Kritik yang paling gencar terhadap teori Boeke datang dari Benjamin Higgins (1955). Kritik yang lain datang dari Sadli (1957) dan Mackie (1980).
Dualisme vs Segmentasi Pasar
Studi yang dilakukan oleh Chris Manning, Hal Hill, Ross McLeod, dan Howard Dick menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia bukan dualisme, melainkan mengandung banyak segmentasi pasar. Keempat pakar ini memberikan kontribusi yang amat berharga terhadap pemahaman mengenai struktur ekonomi mikro Indonesia.
Studi Hal Hill (1980) agaknya lebih condong mendukung adanya dualisme teknologi, bukan dualisme sosial, yang dilontarkan oleh Higgins. Hill menunjukkan relevansi konsep dualisme teknologi dalam industri tenun Indonesia. Kendati demikian, Hill menunjukkan bahwa konsep dualisme teknologi kurang tepat diterapkan dalam kasus industri tenun Indonesia. Ia melihat dualisme teknologi memiliki relevansi untuk industri pemintalan Indonesia.
Manning mencatat terdapat banyak perbedaan upah dan praktik-praktik di pasar tenaga kerja di berbagai segmen industri manufaktur Indonesia. Berbeda dengan dikotomi prakapitalis-kapitalis versi Boeke, ia menekankan yang terjadi di pasar tenaga kerja bukan dualisme melainkan diferensiasi akibat perbedaan teknologi.
McLeod mendefinisikan dualisme sebagai koeksistensi yang berlanjut antara sektor “modern” dan “tradisional” dalam ekonomi domestik NSB. Dalam sektor keuangan, dualisme finansial terjadi antara pasar uang formal dan pasar uang informal. McLeod mengidentifikasi perbedaan utama dalam pasar keuangan sebagai perbedaan harga, perbedaan dalam jenis peminjam, dan perbedaan dalam lokasi geografis.
Dick menyimpulkan bahwa kondisi dualisme yang tidak berubah hanyalah ilusi. Ia mencatat adanya 3 gelombang teknologi baru yang melanda kepulauan Indonesia dalam teknologi alat pelayaran yang mengakibatkan adanya dualisme teknologi.
Kependudukan dan Pengangguran
Strategi pembangunan berdimensi manusia menawarkan konsep yang lebih luas dan menyeluruh yang meliputi semua pilihan-pilihan kebutuhan manusia pada semua tingkatan masyarakat dan semua tahapan pembangunan. Konsep ini meletakkan pembangunan di sekitar manusia, bukan manusia di sekitar pembangunan. Elemen penting dari pembangunan manusia adalah tersedianya pilihan-pilihan bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat dan panjang umur, memperoleh pendidikan, dan memperoleh akses bagi sumber daya yang diperlukan untuk standar hidup yang layak, dan memperoleh kebebasan politik sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.
Besarnya investasi suatu negara dalam pembangunan manusia yang terlihat dalam proporsi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam anggaran belanja negaranya dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana sebuah negara memperhatikan pembangunan manusianya.
Pada tahun 2000 penduduk Indonesia berada pada tahap transisi antara penduduk muda menjadi penduduk tua. Hasil pembangunan di bidang kependudukan di Indonesia terlihat dari perubahan komposisi penduduk menurut umur yang tercermin dari semakin rendahnya proporsi penduduk tidak produktif dan semakin rendahnya angka beban tanggungan.
Proporsi penduduk usia kerja dalam angkatan kerja mengalami peningkatan pada tahun 1999-2001. TPAK di Indonesia menunjukkan jumlah yang lebih tinggi di daerah perdesaan dibandingkan di perkotaan karena tingkat partisipasi sekolah untuk SLTP dan SLTA lebih tinggi di daerah perkotaan.
Wanita dalam Pembangunan
Kesenjangan gender yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh adanya norma sosial yang mempengaruhi pilihan-pilihan dan perilaku rumah tangga dan faktor lembaga legal formal yang mempengaruhi kegiatan ekonominya
Salah satu indikator integrasi wanita dalam pembangunan adalah akses terhadap pendidikan dalam hal ini digunakan ukuran tingkat partisipasi sekolah yang menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah yang telah memanfaatkan fasilitas pendidikan yang ada.
Perbandingan antara indeks pembangunan yang berhubungan dengan gender (GDI) dan indeks pembangunan manusia (HDI) dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kesenjangan gender (gender disparity) di suatu daerah.
Migrasi
Urbanisasi secara luas didefinisikan dengan perpindahan penduduk desa yang menuju kota sehingga mengakibatkan semakin besarnya proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan kota yang lebih cepat mengakibatkan terjadinya urbanisasi yang bersifat prematur. Artinya, urbanisasi desa kota terjadi sebelum industri di kota mampu berdiri sendiri. Migrasi dari desa ke kota ini diyakini merupakan faktor utama penyumbang pertumbuhan kota.
Alasan orang untuk melakukan migrasi, menurut Survei Penduduk Antarsensus (SUPAS) 1995 adalah (1) perubahan status perkawinan dan ikut saudara kandung/famili lain sebesar, (2) karena pekerjaan sebesar, (3) karena pendidikan sebesar, (4) karena perumahan, dan (5) lain-lain.
Pendatang baru di kota karena tidak memperoleh pekerjaan mencoba mengadu nasibnya dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi kota sebagai self employment yang akhir akhir ini dikenal sebagai sektor informal.
Posisi dan Kondisi Hutang Dunia
Utang menjadi fenomena umum bagi negara-negara berkembang. Namun demikian, dalam kenyataannya negara-negara maju pun juga mempunyai utang luar negeri yang tidak kalah banyaknya dengan negara dunia ketiga. Salah satu faktor yang membedakan antara keduanya adalah sering kali negara berkembang tidak mampu mengelola utang secara profesional. Hal ini menyebabkan utang yang semula digunakan untuk membiayai pembangunan beralih menjadi beban pembangunan.
Secara umum, alasan mengapa negara berkembang harus berutang adalah tingkat tabungan dalam negeri yang rendah sehingga harus mencari dana lain untuk membiayai investasi dan minimnya persediaan devisa untuk mengimpor barang-barang, seperti mesin-mesin pabrik atau bahan baku. Hal tersebut berkaitan erat dengan Likuiditas Nasional, yaitu ketersediaan baik mata uang lokal maupun asing untuk kebutuhan pembayaran impor ataupun membayar utang. Atas dasar inilah muncul konsep Guidotti Rule bahwa setidaknya negara dapat dikatakan “aman” apabila mempunyai persediaan devisa yang cukup untuk kebutuhan pembiayaan satu tahun ke depan.
Timbulnya Krisis Utang
Beban utang yang berlebihan apalagi bila dikelola dengan buruk, dapat menjerumuskan negara ke dalam krisis. Hal ini sudah ditunjukkan dengan fenomena krisis baik yang terjadi di Amerika Latin maupun di Asia. Dilihat dari faktor penyebabnya, Faktor penyebabnya bukan semata-mata negara peminjam tetapi juga disebabkan dari aspek internasional. Misalnya, saja kekurang hati-hatian bank internasional dalam memberikan dana pinjaman ke negara berkembang.
Sering kali krisis utang disertai dengan pelarian modal ke luar negeri (capital flight) sehingga makin memperburuk perekonomian negara tersebut. Capital flight menyebabkan turunnya investasi dalam negeri, yang berakibat pada rendahnya output nasional. Rendahnya output nasional berakibat meningkatnya tingkat DSR. Tingginya tingkat DSR menimbulkan adanya spekulasi yang mendorong adanya modal yang mengalir ke luar negeri. Demikian seterusnya sehingga proses yang berjalan merupakan vicious circle.
Setidaknya terdapat lima dampak negatif dari beban utang luar negeri bagi negara tersebut, yaitu pertama, menimbulkan efek negatif terhadap tingkat tabungan di dalam negeri (domestic saving rate); kedua, mempertahankan overvalued currency sehingga mempermudah impor untuk tujuan-tujuan yang tidak produktif; ketiga, sebagian besar dana utang luar negeri sektor pemerintah dibelanjakan di negara pemberi utang, bukan di negara penerima utang; keempat, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri jelas mengalihkan dana yang dapat digunakan sebagai investasi domestik; dan kelima, membuat pemerintah negara berkembang pengutang besar untuk mengintensifkan penerimaan pajak sehingga dapat menyebabkan kondisi investasi yang tidak kondusif dan pelarian modal ke luar negeri (capital flight).
Solusi Krisis Utang
Krisis utang di luar negeri tidak saja membuat negara berkembang menderita, tetapi juga negara dan institusi donor yang selama ini memberi pinjaman. Mereka kuatir bahwa negara kreditor tidak mampu membayar kembali utang-utangnya. Pada perkembangannya timbul beberapa solusi krisis ini, di antaranya pendirian institusi pengelolaan utang, HIPC Initiative, dan Debt for Nature Swap.
Beberapa negara-negara yang termasuk HIPC mendapat pengurangan utang melalui prakarsa yang disebut HIPC Initiative yang dalam perkembangannya muncul HIPC Enhanced Initiative. Namun, Indonesia tidak dapat bantuan pengurangan utang ini karena masih dianggap mampu untuk membayar cicilan utang dan bunganya. Selanjutnya Indonesia mengajukan program debt for nature swap kepada beberapa negara kreditor yang tergabung dalam CGI. Hasilnya beberapa negara menerima dan sebagian menolak. Dalam perkembangannya, konversi utang ini tidak saja berlaku untuk pembiayaan pelestarian lingkungan, namun juga melebar ke bidang pendidikan dan kesehatan.
Investasi Luar Negeri
Peranan investasi asing langsung mempunyai peranan penting bagi perekonomian negara khususnya negara berkembang yang memiliki stok tabungan yang minim. Namun demikian, survei yang dilakukan oleh UNCTAD menunjukkan bahwa negara maju pun sebenarnya memerlukan investasi asing. Hal tersebut dapat dilihat dari aliran FDI yang berasal dari negara maju menuju ke negara maju lainnya.
Pada umumnya investasi asing dapat berupa FDI atau investasi portofolio. Perbedaannya adalah FDI lebih bersifat jangka panjang dan biasanya terjadi transfer teknologi dan manajerial yang dapat diadopsi oleh negara tuan rumah (host country). Sebaliknya, investasi portofolio bersifat jangka pendek dan implikasinya adalah modal tersebut dapat bergerak pindah dari suatu negara ke negara lain (mobilitas ini disebut juga “uang panas”). Oleh karena itu, suatu negara sangat rentan terhadap keberadaan investasi portofolio ini.
Anggito Abimanyu (1994) dalam studinya mengenai TNC di Indonesia menyimpulkan beberapa hal yang menarik berdasarkan analisis data industri tahun 1986-1991 dari Badan Pusat Statistik. Pertama, peningkatan masuknya TNC ke Indonesia, terutama PMA penuh pada akhir tahun 1980-an, bukan merupakan industri unggulan, namun justru yang sudah buangan. Kedua, kinerja TNC umumnya cenderung berorientasi pada pasar dalam negeri meskipun produk yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif untuk ekspor. Ketiga, TNC cenderung memanfaatkan tenaga kerja yang relatif terlalu tinggi dan boros karena upah yang rendah. Dengan kata lain, kondisi upah rendah adalah daya tarik utama masuknya TNC ke Indonesia.
Perusahaan Transnasional (TNC )
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan TNC di beberapa negara memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan produktivitas ekonomi negara tersebut. Dalam skala global, besarnya peranan TNC dapat dilihat dari besarnya tenaga kerja yang diserap, jumlah penjualan di dunia serta aliran FDI yang meningkat dari tahun ke tahun (World Investment Report 2002). Pada umumnya TNC terkemuka di dunia di dominasi oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. Namun, dalam perkembangannya, terdapat 5 TNC yang berasal dari negara berkembang, seperti Venezuela (Petroleos de Venezuela) dan Malaysia (Petronas).
Menurut Dicken (1992), peranan TNC dapat dijelaskan (1) TNC dapat mengendalikan ekonomi di lebih satu negara; (2) kemampuan TNC untuk memanfaatkan perbedaan geografis antarnegara dan daerah khususnya dalam segi faktor endowments (termasuk kebijakan pemerintah); (3) kemampuan TNC untuk memindahkan sumber daya dan operasi lintas lokasi dalam skala global. Kontribusi TNC bagi host country adalah bertambahnya stok modal, transfer pengetahuan, dan praktik manajerial dan organisasi.
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa pihak yang menganggap bahwa TNC membawa manfaat positif bagi negara berkembang. Namun, di lain pihak berargumen bahwa TNC justru lebih membawa dampak negatif daripada dampak positif bagi suatu negara. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pro-kontra bagi keberadaan TNC.
Strategi Pembangunan Industri
Strategi pembangunan industri yang umum digunakan di suatu negara adalah substitusi impor (inward-looking) dan promosi ekspor (outward-looking). Strategi substitusi impor identik dengan proteksionisme yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri yang masih muda agar dapat bersaing, sedangkan strategi promosi ekspor identik dengan usaha peningkatan ekspor untuk meningkatkan pendapatan nasional.
Strategi substitusi impor diminati oleh banyak negara berkembang setidaknya karena 2 alasan berikut. Pertama, strategi substitusi impor yang pada dasarnya diterapkan untuk memenuhi permintaan domestik akan barang-barang konsumsi tidak selalu memerlukan teknologi maju untuk memproduksinya. Kedua, bagian yang paling menarik dari strategi substitusi impor adalah kemungkinan penghematan devisa melalui penurunan belanja negara dalam bentuk valuta asing yang pada gilirannya akan menurunkan defisit perdagangan.
Keuntungan penerapan strategi promosi ekspor adalah meningkatnya nilai ekspor sebuah negara yang dapat meningkatkan pemasukan negara berupa mata uang asing sehingga meningkatkan cadangan devisa. Namun, penerapan strategi ini berpotensi menyebabkan kenaikan pengeluaran untuk impor seiring dengan kenaikan pendapatan suatu negara yang pada akhirnya menimbulkan pengaruh negatif pada neraca perdagangan negara yang bersangkutan.
Kinerja dan Daya Saing Industri
Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah (1) tingginya tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi, (2) dominasi kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing di pasar global, (3) lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien, (4) struktur industri Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah, (5) masih kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi, (6) investor asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi.
Struktur industri Indonesia cenderung oligopolistik karena (1) adanya proteksi (tata niaga), (2) besarnya modal yang diperlukan untuk investasi, (3) tingginya teknologi yang digunakan, (4) adanya preferensi terhadap produk.
Daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan karena setidaknya 2 alasan (1) dalam realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi perusahaan dan industri. Kebanyakan orang menganalogkan daya saing negara identik dengan daya saing perusahaan. Apabila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh perusahaan dan industri Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional, (2) mendefinisikan daya saing negara lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Apabila suatu perusahaan tidak dapat membayar gaji karyawannya, membayar pasokan bahan baku dari para pemasok, dan membagi dividen, maka perusahaan itu akan bangkrut dan terpaksa ke luar dari bisnis yang digelutinya. Perusahaan memang bisa bangkrut, namun negara tidak memiliki bottom line alias tidak akan pernah “ke luar dari arena persaingan”.
Pengembangan Usaha Kecil
Ada 2 definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, menurut UU No 9 Tahun 1995 adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp200 juta. Kedua, menurut BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250).
Usaha kecil pada umumnya memiliki karakteristik (1) tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi, (2) rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, (3) sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum, (4) dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau, kelompok industri barang galian bukan logam, industri tekstil, dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumah tangga. Masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada.
Perhatian untuk menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga (IKRT) setidaknya dilandasi oleh 3 alasan, yaitu (1) IKRT menyerap banyak tenaga kerja, (2) IKRT memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, (

PRIVATISASI BUMN
Gelombang Privatisasi Dunia
BUMN didirikan dengan tujuan memobilisasi tabungan masyarakat, menciptakan kesempatan kerja, menyediakan barang-barang publik, dan menjaga industri atau sektor yang dianggap strategis tetap di bawah kendali pemerintah.
Ada beberapa alasan dilakukannya privatisasi BUMN. Pertama, meningkatkan kinerja berupa efisiensi ekonomis BUMN yang ditunjukkan dengan harga jual yang rendah dan meningkatnya kualitas produk. Kedua, mengurangi defisit keuangan. Ketiga, mencapai keseimbangan antara sektor publik dan sektor swasta. Keempat, privatisasi bertujuan untuk menciptakan investasi baru, termasuk investasi asing, kepemilikan saham yang lebih besar dan pendalaman sistem keuangan dalam negeri.
Privatisasi di negara-negara Amerika Latin ternyata bukan hanya keputusan ekonomi. Di negara-negara ini, privatisasi dikaitkan dengan tarik menarik kekuatan politik dan bukan hanya sekadar “rasionalitas pasar”. Namun, privatisasi dilakukan akibat “tekanan” bank-bank internasional, konsultan dan lembaga pemerintah yang mendesain program privatisasi. Reformasi BUMN di Cina diawali dengan eksperimen Deng Xiaoping pasca-Kongres Partai ke-11 pada tahun 1978. Di hampir semua daerah, 70% BUMN skala kecil dan menengah diprivatisasi terutama melalui skema pemegang saham oleh para karyawan.

Privatisasi BUMN di Indonesia
Beberapa alasan mengapa pemerintah Indonesia melakukan privatisasi terhadap BUMN, yaitu (1) untuk menutupi defisit APBN, (2) tidak memiliki dana segar menyubsidi BUMN agar terus berkembang demi kepentingan masyarakat, (3) banyak BUMN yang tidak dapat menghasilkan keuntungan maksimal untuk dikontribusikan bagi kemakmuran rakyat melalui APBN, (4) maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menyebabkan BUMN bekerja tidak efisien.
Di Indonesia, pemerintah baru sejak 1988 memberlakukan upaya privatisasi secara bertahap, yakni dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 (Oktober 1988), 3 Keputusan Menteri Keuangan (740/KMK.00/1989; 741/KMK.99/1989; 1232/KMK.013/1989), dan surat Edaran S-648/MK013/1990. Selama tahun 1989-1993 ternyata baru tujuh BUMN yang telah diprivatisasi. Jumlah ini 5 buah lebih sedikit dari pada BUMN baru yang didirikan dalam periode yang sama, dan 45 lebih sedikit dari pada yang pernah dinyatakan oleh Menteri Keuangan akan diprivatisasi setelah 1989. Jumlah saham yang dijual ke investor swasta juga masih relatif kecil. Dari enam BUMN yang diprivatisasi melalui pasar modal antara tahun 1991 sampai 1997, sebagian besar kepemilikan saham BUMN masih dikuasai oleh pemerintah. Pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya yang berkisar antara 25% sampai 35%.

Kinerja dan Strategi Reformasi BUMN
Proses privatisasi BUMN tidak saja dalam terjadi di negara berkembang, namun juga di negara-negara maju. Kebijaksanaan privatisasi baik di negara maju maupun negara berkembang dalam rangka untuk membebaskan pemerintah dari campur tangan dalam bidang ekonomi yang merupakan bidang yang semestinya dilakukan oleh sektor swasta.
Reformasi BUMN mengandung makna yang lebih luas dan memerlukan sebuah grand strategi reformasi BUMN. Reformasi seharusnya mencakup setidaknya 2 dimensi utama, yaitu internal korporat BUMN dan positioning BUMN dalam konfigurasi sistem ekonomi nasional (Kuncoro, 2002). Tanri akhirnya memutuskan program privatisasi dilakukan melalui penjualan lewat mitra strategik (strategic partner) di banding lewat penawaran publik melalui bursa saham. Yang dikarenakan: pertama, pasar modal baru mengalami depresi akibat krisis moneter. Kedua, penjualan lewat mitra strategik dianggap lebih baik daripada penawaran publik terutama dalam memperbaiki manajemen BUMN maupun peningkatan akses mereka terhadap pasar dan teknologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar